Sisa bentrok penyergapan teroris di Pamulang, Tengerang Selatan
MESKI tak ada ledakan sedahsyat Bom JW Marriot dan Ritz Carlton, seperti pada Jumat 17 Juli tahun lalu, atau penangkapan gembong teroris Noordin M Top di Kampung Kepuhsari, Kelurahan Mojosongo, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah, Kamis 17 September 2009 silam, sayup-sayup kasus terorisme masih terdengar sepanjang 2010 ini.
Diawali dengan perburuan terduga teroris di Provinsi Aceh, Senin 22 Februari 2010. Perburuan berlanjut hingga ditangkapnya pengasuh Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Abu Bakar Baasyir di kawasan Banjar Patroman, Jawa Barat, Senin 9 Agustus malam.
Baasyir dituduh terlibat dalam berbagai rencana aksi teror dan pelatihan di camp militer Aceh, yang ditemukan sesaat setelah penyergapan yang ikut menewaskan satu personel Brimob Briptu Boas Woisiri.
Tak berhenti sampai di situ, petualangan Densus 88 Anti teror pun berlanjut. Pasukan elit Polri ini berhasil mengukir tinta emas di akhir tahun dengan menangkap gembong teroris yang konon yang paling dicari dan masuk dalam daftar pencarian orang (DPO), Abu Tholut alias Musthofa alias Pranata Yuda alias Imron di Kudus, Jawa Tengah, Jumat dua pekan lalu.
Perburuan dari Belantara Aceh hingga Penahanan BaasyirBeragam reaksi muncul saat pasukan Antiteror ini melanjutkan petualangannya. Menyisir persembunyian, camp latihan, hingga menangkap orang-orang yang dianggap terkait dengan berbagai aksi teror.
Ada yang berdecak kagum, menatap sinis penuh cemooh, bahkan skeptis mencibir polisi, khususnya Densus, hanya sebagai boneka pemerintah berkuasa untuk membelokan isu yang berkembang di ranah perpolitikan tanah air.
Namun hal itu tak sedikit pun menyurutkan langkah Densus 88 untuk terus melakukan tugasnya. Penangkapan demi penangkapan sukses dilancarkan. Salah satunya penggerebekan di Pegunungan Jalin Jantho Aceh Besar. Lima orang berhasil ditangkap, meski seorang warga bernama Kamarudin tewas dalam penggerebekan itu. Kamarudin diklaim Polri sebagai korban salah tembak.
Petualangan berlanjut. Dari pengembangan kasus Aceh, kesatuan ini kembali berhasil menembak mati terduga teroris yang tengah berinternet ria di warnet Multiplus, Pamulang, Tangerang Selatan. Belakangan, polisi memastikan bahwa pria berjanggut tebal itu adalah Dulmatin, gembong teroris internasional yang paling dicari selama ini.
Kepala Polri saat itu Jenderal Bambang Hendarso Danuri, bahkan langsung menghubungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu (pada saat bersamaan) tengah berada di Australia dalam sebuah kunjungan kenegaraan.
Selain Dulmatin, dua pengawalnya Ridwan dan Hasan Nur juga ikut didor dan dua orang lainnya berinisial BR alias AH dan SB alias I ditangkap hidup-hidup, di Gang Asem, Pamulang.
Sebulan kemudian, tepatnya 11 April 2010, polisi kembali menuai sukses. Enam orang yang diduga anggota jaringan teroris Aceh berhasil diringkus Polda Sumatera Utara. Densus kemudian berhasil menangkap orang yang diyakini sebagai Abdullah Sonata di Klaten, Jawa Tengah.
Saat berhasil meringkus pembobol ATM Bank CIMB Niaga Medan, polisi mencium aroma keterkaitan antara sejumlah residivis yang diciduk dengan kelompok teroris Aceh. Konon perampok Bank CIMB Niaga Medan ini, merupakan bagian dari kelompok teroris Aceh.
Isu ini kian menguat saat Polsek Hamparan Perak, Sumatera Utara diserang oleh sekelompok bersenjata, beberapa hari setelah penangkapan enam perampok Bank CIMB. Tiga polisi (cek) tewas dalam insiden ini. Rumor yang beredar, kelompok teroris sengaja membalas dendam.
Meskipun, belakangan diketahui bahwa aksi tersebut murni kriminal dan tidak terdapat unsur teror. Modus balas dendam memang terindikasi, namun bukan dari kelompok teroris seperti selama ini digembor-gemborkan, melainkan dari kelompok residivis.
Belajar dari kesalahan "diagnosa" ini, polisi makin gencar bergerilya, menyisir belantara, kos-kosan mahasiswa, hingga perkampungan terpencil untuk memberangus sel-sel terorisme yang dimungkinkan muncul dan menjadi gurita. Target utamanya, sudah pasti menemukan aktor utama di balik rencana teror, bahkan konon, serangan ke Istana dan kediaman Presiden.
Pada Agustus 2010, publik dikagetkan dengan penangkapan kedua mantan Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu Bakar Baasyir saat melintas di Banjar Patoroman, Jawa Barat. Ustaz sepuh ini ditangkap pangsa dan diterbangkan ke Jakarta, diinapkan di Mabes Polri. Polisi menuduh Baasyir sebagai biang kerok dari semua aksi teror di Indonesia, termasuk dalang pelatihan militer di Aceh.
Pengamat terorisme Al Chaidar bahkan menyakini penangkapan Baasyir sebagai kesalahan besar yang telah dilakukan Mabes Polri. Terlebih dasar yang digunakan sebagai dalil di balik aksi penangkapan adalah pengakuan dari para tahanan teroris Aceh. Seperti diketahui, dalam perjalanannya Jemaah Islamiyah telah mengalami perpecahan menjadi dua kelompok karena berseberangan pandangan.
Kelompok pertama adalah Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) pimpinan Baasyir yang lebih memilih jalan dakwah dan konsen di wilayah pendidikan. Sementara kelompok kedua adalah Tandzim Qoidatul-Jihad (TQJ) yang tetap bergerak di bawah tanah untuk melakukan aksi-aksi teror. Di antara anggota kedua kelompok ini tidak akur.
Keyakinan Chaidar bahwa Baasyir tidak terlibat dalam jaringan Aceh lantaran salah seorang anggota teroris Aceh yang ditahan polisi yaitu Syailendra Ady Sapta (40) adalah orang yang antipati terhadap Baasyir.
Dalam perjalanannya, polisi memang sulit mendapatkan bukti-bukti keterlibatan Baasyir. Setelah lebih dari 90 hari Baasyir ditahan, berkas Baasyir ditolak Kejaksaan saat dilimpahkan. Alat bukti yang diajukan Polri dianggap tidak kuat untuk menyeret Baasyir ke meja hijau.
Ditangkaplah orang yang diyakini sebagai Abu Tholut, lagi-lagi gembong teroris paling dicari yang masuk daftar pencarian orang (DPO) di Kudus, Jawa Tengah, pada pertengahan Desember ini. Ajaib, berkas Baasyir langsung dinyatakan lengkap (P21).
Benarkah mereka teroris?
Pertanyaan paling dangkal yang banyak dilontarkan masyarakat awam terkait penangkapan para terduga teroris adalah benarkah mereka penjahat kakap? Sebab masyarakat, terlebih keluarga, meyakini bahwa orang-orang yang disangka sebagai teroris itu adalah orang yang biasa yang tak lebih dari seorang tokoh dakwah.
Meminjam perkataan sejumlah pengamat intelijen, mereka juga hanyalah soft teroris, di mana secara ideologi tokoh seperti Abu Bakar Baasyir, atau organisasi layaknya Jamaah Ansharut Tauhid, atau Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) adalah gerakan dakwah yang bisa dikatakan beraliran garis keras. Namun, dalam prakteknya, mereka tidak menyetujui bahkan mengecam tindakan kekerasan yang selalu mengatasnamakan doktrin agama dan jihad fisabilillah.
Entahlah. Publik juga tak yakin betul pengadilan bisa secara fair membuktikan bahwa mereka benar-benar teroris yang meresahkan masyarakat. Pengadilan dianggap sudah banyak tercoreng dengan pesanan dan aneka kepentingan. Isu terorisme dan drama penangkapan pun terkesan hambar dan menjadi diskursus yang tidak enak ditonton.
Lantas habiskah isu terorisme dan apa gebrakan polisi selanjutnya di 2011? Kita tunggu saja
0 komentar:
Posting Komentar